Sebuah cerpen sederhana yang menceritakan harapan-harapan besar anak-anak disebuah desa yang jauh dari kota yang ada namun sedikit terabaikan oleh pemerinta. Dengan tokoh seorang wanita yang mendedikasikan sebagian waktu dalam hidupnya untuk menjadi relawan didesa tersebut. Tekad hidupnya satu, ingin membantu mewujudkan cita-cita bangsa ini. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Sehingga harapan-harapan tersebut tidak hanya menjadi sebuah mimpi manis, tetapi NYATA!
Selamat membaca :)
Selamat membaca :)
HARAPAN MALAIKAT MALAIKAT KECIL
(Cerpen)
Petang bertandang mentari mulai pamit. Langit berwarna jingga
bercampur dengan cahaya memerah. Menciptakan guratan indah di langit. Awan
bergerak tersapu angin menghantarkan sang surya kembali ke peraduan. Berbaur warna
lembayung yang indah merona. Aku berjalan menyusuri tepi sawah yang tersusun
rapi dengan padi-padi yang mulai menguning membuatku serasa damai. Sudah hampir
setahun aku disini menjadi relawan mengajar, di desa Bantarkawung salah satu
desa berbatasan dengan kabupaten Cilacap yang dipagari gunung tinggi. Aku rela
meninggalkan keluarga ku, teman-teman ku dan kesenangan ku di Jakarta. Untuk mengabdi
menggodok anak-anak bangsa memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas,
walaupun mereka tinggal didesa bukan di kota. Bukankah cita-cita bangsa ini
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa?
Senja ini aku berjalan-jalan menikmati detik-detik matahari
tenggelam menyelinap dibalik gagahnya gunung. Kulihat dari kejauhan gadis kecil
duduk dibale-bale, ku amati sepertinya
aku mengenalnya. Gadis kecil tersebut bernama Anjani, siswa kelas empat yang
aku ajar. Aku akui memang ia sangat pendiam di kelas, namun ia anak yang paling
penurut yang pernah ada. Disaat teman-temannya berhamburan pulang dan lupa
membereskan sampah, ia tanpa disuruh akan membereskannya dan setia menunggu ku
yang sibuk merapikan kelas.
Aku mulai mendekatinya perlahan “Anjani, sedang apa kamu
disini? Cepatlah pulang hari sudah sore.” ujar ku lembut padanya.
“Sebentar ibu guru.” jawabnya sekedarnya dengan lekungan
senyum dibibirnya. Namun tunggu sebentar, aku melihat ada sebening air mata
dipelupuk mata Anjani.
“Anjani apa kamu habis menangis?”
Anjani hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Aku duduk
disampingnya. “Ayo cerita sama Bu Ratna, tidak baik loh menyimpan sesuatu
sendiri. Nanti kamu cepat tua. Tak mau kan kulit mu keriput.” rayu ku dengan
guyonan ringan.
“Aku kangen mama.” ucap Anjani setengah berbisik. Beberapa
bulir air mata membasahi pipi putihnya. Aku tertegun melihat Anjani, aku sendiripun
tak tau apa yang terjadi pada ibunya.
“Bu Ratna percaya mama mu juga sangat merindukan kamu.” ujar ku
sambil mengusap punggungnya.
“Engga bu, mama engga kangen sama Anjani. Kalau mama kangen
sama Anjani mama pasti pulang. Mama engga sayang sama Anjani.” isak tangis
kecil Anjani pun terdengar dari mulut mungilnya. Sepertinya Anjani sangat merindukan
ibu nya. Aku mengerti sekali perasaan Anjani, aku pun langsung teringat pada
ibu ku. Rasa penasaran ku pada Anjani begitu kuat, kemanakah ibunya.
“Memang mama Anjani pergi kemana sayang?” tanya ku hati-hati.
“Mama sudah hampir dua tahun pergi ke Arab Saudi untuk
bekerja bu.”ujarnya lirih.
“Walaupun mama Anjani jauh di Arab Saudi sana tapi percaya
sama Bu Ratna, mama masih dan akan selalu sayang sama Anjani. Mama Anjani bukannya engga mau pulang sayang.
Mama Anjani masih harus mengumpulkan uang untuk Anjani. Dengerin Bu Ratna deh,
mama Anjani disana pasti selalu merindukan dan mendoakan Anjani. Makanya Anjani
ga boleh sedih lagi, Anjani harus rajin belajar dan buat mama Anjani bangga.” ujar
ku menenangkan Anjani.
“Kemarin kata ibu kepala sekolah, negara kita kaya raya
banyak hasil lautnya, hutannya, dan semuanya. Tapi kenapa mama Anjani masih
harus pergi keluar negeri sana untuk bekerja bu?” pertanyaan polos yang
diberikan Anjani membuat ku terdiam. Entah aku harus menjelaskan apa.
Memang Indonesia kaya akan tanahnya, airnya, tambangnya.
Namun mengapa itu semua tidak cukup untuk rakyatnya. Masih saja banyak
orang-orang yang bekerja di luar negeri sana. Disaat rakyatnya miskin kelaparan
kekayaan Indonesia digeruk oleh orang-orang kapitalisme dan mebawa hasilnya ke
negara mereka. Kami yang menanam tapi mengapa mereka yang memanen. Sungguh
ironis.
“Mungkin ada alasan lain sayang, ya sudah jangan sedih lagi
Anjani kan masih ada Bu Ratna.” Ucap ku tersenyum pada Anjani.
“Anjani sayang Bu Ratna” gadis kecil ini memeluk pinggang ku.
“Bu Ratna jangan seperti mama ku yah ninggalin aku. Bu Ratna harus terus disini
mengajar di desa ini.” ucapan polos bocah ini membuat ku terharu hingga
menitikkan air mata. Namun tidak mungkin aku selamanya tinggal disini. Aku pun
rindu dengan keluarga ku di Jakarta sana. Tak dapat bicara sepatah katapun
hanya seulas senyum yang ku kembangkan. Saat ini aku bertanggung jawab untuk
menyenangkan dan mengajar malaikat malaikat ku di desa ini saalah satunya
Anjani.
***
“Assalamualaikum.” terdengar suara kompak bocah-bocah ku yang
lain Anto, Didi, dan Fitri.
“Wa’alaikum sallam, kalian pasti mau pergi mengaji toh?”
tanya ku pada bocah-bocah ini. Setiap sore tiba anak-anak didesa ini selalu
pergi ke pondok samping masjid dengan menyandang Al-Qur’an. Sungguh suasana
yang menenangkan hati
“Iya bu kami mau berangkat ke pondok. Bu Ratna sama Anjani
ngapain disini?” tanya seorang bocah dihadap ku sambil membetulkan sarung, Didi
namanya.
Bocah super energi ini
tak pernah bisa diam kalau di kelas.
Selalu berteriak memaki temannya yang tidak memperhatikan pelajaran
dikelas, kuat mondar-mandir membantu ku membawa buku ke taman baca, kuat mengayuh
sepeda mengantar ibunya berjualan ke pasar setiap pagi, dan tak ketinggalan
kuat pula ambisi dan pendiriannya. Namun kadang Didi sering digoda
teman-temannya dengan julukan “kaleng rombeng” karna suaranya yang cempreng
menusuk kuping. Mungkin ia sering lupa membawa remote untuk mengecilkan volume suaranya.
“Oh ibu sedang
mengobrol bareng Anjani.” jawab ku.
“Kita juga mau ikut nimbrung bu.” Anto mulai bersuara. Anto
duduk di bale di ikuti semua
temannya. “Ibu lagi ngomongin apa sih?” lanjut Anto.
“Ih Anto kamu kepengen tau saja. Ini urusan aku dengan Bu
Ratna.” ujar Anjani dengan wajah cemberut.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah Anto dan Anjani. “Kenapa
kalian tidak segera ke pondok? Nanti Ustad Rahmat mencari loh.” usul ku pada
mereka.
“Ah ibu ini baru pukul lima sore bu, belum Magrib. Kami juga
pengen ikut cerita sama ibu benarkan Anto, Didi?” celoteh Fitri sambil
mengerlingkan mata beningnya. Bibirnya melengkung mengukirkan senyum khasnya.
Melihat Fitri aku gemas sekali.
“Oke-oke sekarang kita mau cerita apa? tanya ku pada mereka.“Cerita
tentang cita-cita saja bu.” ucap semangat Anto.
“Ayo
cita-cita kalian apa?” Meraka sangat antusias jika berbicara tentang cita-cita.
Seakan mereka menemukan mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang akan merangkai masaa depan
mereka untuk dua puluh atau tiga puluh tahun nanti.
“Aku dulu yah bu aku dulu.” suara Didi yang tinggi melengking
menimbulkan bunyi nging- nging ditelinga.
“Didi kamu berisik sekali sih.” omel Fitri yang tepat
disamping Didi. Didi tidak menghiraukan omelan Fitri, Ia sangat semangat
bercerita cita-citanya.
“Cita-cita aku ingin jadi tentara memakai seragam
loreng-loreng, berdiri dengan gagah berani membawa senjata dan siap menembak
siapa saja yang mengganggu Indonesia. Tapi aku juga ingin jadi supir pesawat
bu.” cerita Didi
“Supir pesawat? Maksud kamu pilot Di?” Mungkin dia lupa
istilah pilot sebagai pengemudi pesawat. Semoga saja Didi tidak lupa istilah
masinis dan nakodah.
“Iya bu jadi pilot. Nanti kan aku bisa jalan-jalan ke Jakarta
dan keluar negeri bu. Aku bakal mengajak bapake,
ibuke, bude ku, dan bu Ratna juga jalan-jalan keliling dunia.” ujar Didi
serius.
“Aku ga diajak Di?” tanya Fitri.
“Aku engga mau ajak kamu ah, kamu suka marah marah sih
habisnya. Nanti kamu bakal ganggu konterasi aku kemudikan pesawat.”
“Ih Didi konsentrasi tau, bukan konterasi.” Omel Fitri.
“Habisanya kamu sering berisik sih ditelinga aku. Makanya kalau ngomong
pelan-pelan Didi.” lanjut Fitri.
“Bu.. bu.. aku juga mau keluar negeri bu, aku ingin jadi pengusaha
batik disana supaya batik Mbok ku terkenal. Siapa tau nanti artis kesukaan aku
Justin Bieber akan pakai baju batik buatan Mbok ku. Waduh keren kan, pasti
Indonesia bakal terkenal ga kalah sama Amerika.” cerita Fitri dengan
menggebu-gebu.
Aku tersenyum menahan geli mendengar cerita Fitri,
khayalannya begitu tinggi. Namun tidak ada yang tidak mungkin bukan. Kalau
Batik sudah terkenal dan termasyur bukan hanya seorang Justin Bieber yang akan
mengenakanya. Actor favorit ku Leonardo Dicaprio pasti akan memakainya, apalagi
kalau batik yang dipakai itu produksi murid ku.
Fitri, gadis kecil anak seorang pembatik tulis di desa ini.
Ibu nya sangat telaten menorehkan canting ke dalam selembar kain, sehingga
menghasilkan batik yang indah. Julukan sang Pemimpi sangat tepat untuknya, Ia
memiliki imajinasi yang luar biasa jika disuruh bercerita dan menggambar.
Hobinya adalah membaca, ia tak pernah absen ke taman baca yang didirikan oleh
ku dan rekan relawan lainnya. Bahkan jika ada buku baru ialah peminjam pertama.
Tidak heran, kenapa Fitri punya segudang ide untuk menggambar. Aku akan
berusaha untuk menjadi bagian dalam mungujudkan mimpinya.
“Kamu itu mimpi, mana
mau Justin Bieber pakai batik. Batik itu kan kuno lihat deh gayanya Justin
Bieber kan hiphop gitu” ledek Anto.
“Anto tidak boleh begitu, kamu kan anak Indonesia. Anak
Indonesia harus cinta Indonesia. Cinta produk dalam negerinya, cinta budayanya,
dan cinta keindahan alamnya. Kalau sudah cinta pasti bakal menjaganya kan?
Batik itu warisan kesenian nenek moyang Indonesia, kita harus tetap menjaga dan
mempopulerkan batik sampai ke mata dunia. Kata siapa batik itu kuno? Kamu lihat
deh para perancang busana terkenal saja sekarang banyak yang menggunakan motif
batik. Kita semua harus jaga kekayaan budaya Indonesia termasuk Batik supaya engga
dicolong sama bangsa lain.” ujar ku pada mereka.
“Iya bu. Aku juga punya cita-cita bu. Aku ingin jadi juragan
gabah bu seperti Mbah Karyo. Rumahnya bagus, banyak mobil, tanahnya
dimana-mana. Pokoknya enak, jadi bapake engga harus capai- capai cangkul sawah
lagi. Tinggal duduk manis menunggu kiriman gabah saja dirumah.” Kini mulai Anto
yang bercerita. Ia terinspirasi dengan tengkulak di desa ini.
Anto anak seorang petani desa, bocah pencinta warna hijau
muda yang memiliki daya tangkap dan daya ingat yang sangat bagus. Setiap kali
aku mengajar pelajaran IPA, pasti selalu mendengar suaranya yang
berteriak-terika meski serak menjawab pertanyaan dari ku. Begitupun setiap
minggu sore saat kami mengadakan les, ia lompat menjawab pertanyaan dengan
tangan mengacung.
“Anto jangan hanya jadi juragan saja, tapi harus menjadi ahli
teknologi pertanian juga dan mempunyai perusahaan beras yang besar. Supaya stok
beras kita terpenuhi dan engga import lagi dari luar negeri. Sehingga para
petani kita akan sejahtera.” jelas ku pada Anto
“Import itu apa bu?” tanya Anjani yang sedari tadi diam
serius mendengar cerita teman-temannya.
“Import itu mendatangkan barang dari luar negeri sayang, jadi
kita yang membeli beras dari luar negeri. “
“Terus bu kalau kita import beras dari luar negeri, beras
hasil petani kita bagaimana bu?” Anto kembali bertanya ia mulai tanggap dengan
apa yang aku bicarakan.
“Kita mengimport beras karna beras yang kita miliki tidak
mencukupi kebutuhan pangan nasional. Akhirnya untuk mencukupi pangan terpaksa
membeli beras dari luar negeri. Nah makanya kasihan para petani kita yang
penghasilannya turun. Kalian-kalian harus belajar yang pintar agar nanti bisa
melakukan penelitian untuk produksi pertanian kita.” Ujar ku menjelaskan. Wajah-wajah
sumringah mereka membuat ku bahagia.
“Kalau cita-cita Anjani ingin jadi apa?” tanya ku pada gadis
kecil disampingku.
“Aku ingin jadi dokter bu, mengobati orang-orang yang sakit
didesa ini. Kasihan kan kalo ada yang sakit orang-orang harus ke kebupaten dulu
buat ke puskesmas. Nanti kalau Anjani jadi dokter, Anjani akan buat rumah sakit
yang besar disini. Biar orang-orang desa sehat dan engga ada yang sakit lagi.”
Celoteh Anjani.
Memang di desa ini fasilitas kesehatan sangat minim tidak ada
klinik, hanya ada puskesmas. Untuk kesananya pun menempuh jarak yang cukup jauh
kira-kira sepuluh kilometer dari desa. Apalagi ditambah dengan sarana
transportasi yang kurang memadai. Sehingga mereka hanya mengandalkan seorang
mantri kampung, dan jika ada yang melahirkan tidak ada bidan melaikan hanya dukun beranak.
“Wah cita-cita kamu mulia sekali Anjani.” Anjani membalas dengan senyum manisnya. Ini
hanya secuil harapan anak-anak desa. Masih banyak harapan emas anak-anak bangsa
disetiap sudut Indonesia ini.
Suara adzan Magrib berkumandang merdu dari Masjid diseberang
bale yang kami duduki. Matahari sudah terbenam langit sudah gelap, bulan mulai
muncul dibalik awan. “Ayo sudah Magrib cepat pergi ke pondok sudah ditunggu
Ustad Rahmat.” ajak ku pada mereka. Anto dan Didi pun bergegas membetulkan
sarung juga peci yang mereka kenakannya. Mereka berempat bersiap untuk segera
pergi ke pondok. Satu persatu mereka menyalami ku memohon izin dan restu untuk
menuntut ilmu. Disudut ini aku menemukan kekuatan bangsa, jati diri bangsa yang
tersimpan dalam diri malaikat – malaikat kecil ku ini. Semoga tidak hanya
sebuah impian manis, aku berjanji semampu ku mewujudkan harapan mereka.
End
*maaf kalau cerpennya banyak kekurangan dalam pemilihan kata, tanda baja, dan EYD. Masih belajar dan akan terus belajar :)
0 komentar:
Posting Komentar