Selasa, 04 Februari 2014

Harapan Malaikat Malaikat Kecil (cerpen)

Diposting oleh Unknown di 07.32
Sebuah cerpen sederhana yang menceritakan harapan-harapan besar anak-anak disebuah desa yang jauh dari kota yang ada namun sedikit terabaikan oleh pemerinta. Dengan tokoh seorang wanita yang mendedikasikan sebagian waktu dalam hidupnya untuk menjadi relawan didesa tersebut. Tekad hidupnya satu, ingin membantu mewujudkan cita-cita bangsa ini. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Sehingga harapan-harapan tersebut tidak hanya menjadi sebuah mimpi manis, tetapi NYATA!
Selamat membaca :)





HARAPAN MALAIKAT MALAIKAT KECIL
(Cerpen)


Petang bertandang mentari mulai pamit. Langit berwarna jingga bercampur dengan cahaya memerah. Menciptakan guratan indah di langit. Awan bergerak tersapu angin menghantarkan sang surya kembali ke peraduan. Berbaur warna lembayung yang indah merona. Aku berjalan menyusuri tepi sawah yang tersusun rapi dengan padi-padi yang mulai menguning membuatku serasa damai. Sudah hampir setahun aku disini menjadi relawan mengajar, di desa Bantarkawung salah satu desa berbatasan dengan kabupaten Cilacap yang dipagari gunung tinggi. Aku rela meninggalkan keluarga ku, teman-teman ku dan kesenangan ku di Jakarta. Untuk mengabdi menggodok anak-anak bangsa memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas, walaupun mereka tinggal didesa bukan di kota. Bukankah cita-cita bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa?


Senja ini aku berjalan-jalan menikmati detik-detik matahari tenggelam menyelinap dibalik gagahnya gunung. Kulihat dari kejauhan gadis kecil duduk dibale-bale, ku amati sepertinya aku mengenalnya. Gadis kecil tersebut bernama Anjani, siswa kelas empat yang aku ajar. Aku akui memang ia sangat pendiam di kelas, namun ia anak yang paling penurut yang pernah ada. Disaat teman-temannya berhamburan pulang dan lupa membereskan sampah, ia tanpa disuruh akan membereskannya dan setia menunggu ku yang sibuk merapikan kelas. 


Aku mulai mendekatinya perlahan “Anjani, sedang apa kamu disini? Cepatlah pulang hari sudah sore.” ujar ku lembut padanya.
“Sebentar ibu guru.” jawabnya sekedarnya dengan lekungan senyum dibibirnya. Namun tunggu sebentar, aku melihat ada sebening air mata dipelupuk mata Anjani.
“Anjani apa kamu habis menangis?”
Anjani hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Aku duduk disampingnya. “Ayo cerita sama Bu Ratna, tidak baik loh menyimpan sesuatu sendiri. Nanti kamu cepat tua. Tak mau kan kulit mu keriput.” rayu ku dengan guyonan ringan.
“Aku kangen mama.” ucap Anjani setengah berbisik. Beberapa bulir air mata membasahi pipi putihnya. Aku tertegun melihat Anjani, aku sendiripun tak tau apa yang terjadi pada ibunya.
“Bu Ratna percaya mama mu juga sangat merindukan kamu.” ujar ku sambil mengusap punggungnya.
“Engga bu, mama engga kangen sama Anjani. Kalau mama kangen sama Anjani mama pasti pulang. Mama engga sayang sama Anjani.” isak tangis kecil Anjani pun terdengar dari mulut mungilnya. Sepertinya Anjani sangat merindukan ibu nya. Aku mengerti sekali perasaan Anjani, aku pun langsung teringat pada ibu ku. Rasa penasaran ku pada Anjani begitu kuat, kemanakah ibunya.

“Memang mama Anjani pergi kemana sayang?” tanya ku hati-hati.
“Mama sudah hampir dua tahun pergi ke Arab Saudi untuk bekerja bu.”ujarnya lirih.
“Walaupun mama Anjani jauh di Arab Saudi sana tapi percaya sama Bu Ratna, mama masih dan akan selalu sayang sama Anjani.  Mama Anjani bukannya engga mau pulang sayang. Mama Anjani masih harus mengumpulkan uang untuk Anjani. Dengerin Bu Ratna deh, mama Anjani disana pasti selalu merindukan dan mendoakan Anjani. Makanya Anjani ga boleh sedih lagi, Anjani harus rajin belajar dan buat mama Anjani bangga.” ujar ku menenangkan Anjani.
“Kemarin kata ibu kepala sekolah, negara kita kaya raya banyak hasil lautnya, hutannya, dan semuanya. Tapi kenapa mama Anjani masih harus pergi keluar negeri sana untuk bekerja bu?” pertanyaan polos yang diberikan Anjani membuat ku terdiam. Entah aku harus menjelaskan apa.

Memang Indonesia kaya akan tanahnya, airnya, tambangnya. Namun mengapa itu semua tidak cukup untuk rakyatnya. Masih saja banyak orang-orang yang bekerja di luar negeri sana. Disaat rakyatnya miskin kelaparan kekayaan Indonesia digeruk oleh orang-orang kapitalisme dan mebawa hasilnya ke negara mereka. Kami yang menanam tapi mengapa mereka yang memanen. Sungguh ironis.

“Mungkin ada alasan lain sayang, ya sudah jangan sedih lagi Anjani kan masih ada Bu Ratna.” Ucap ku tersenyum pada Anjani.
“Anjani sayang Bu Ratna” gadis kecil ini memeluk pinggang ku. “Bu Ratna jangan seperti mama ku yah ninggalin aku. Bu Ratna harus terus disini mengajar di desa ini.” ucapan polos bocah ini membuat ku terharu hingga menitikkan air mata. Namun tidak mungkin aku selamanya tinggal disini. Aku pun rindu dengan keluarga ku di Jakarta sana. Tak dapat bicara sepatah katapun hanya seulas senyum yang ku kembangkan. Saat ini aku bertanggung jawab untuk menyenangkan dan mengajar malaikat malaikat ku di desa ini saalah satunya Anjani.

                                                                         ***

“Assalamualaikum.” terdengar suara kompak bocah-bocah ku yang lain Anto, Didi, dan Fitri.
“Wa’alaikum sallam, kalian pasti mau pergi mengaji toh?” tanya ku pada bocah-bocah ini. Setiap sore tiba anak-anak didesa ini selalu pergi ke pondok samping masjid dengan menyandang Al-Qur’an. Sungguh suasana yang menenangkan hati
“Iya bu kami mau berangkat ke pondok. Bu Ratna sama Anjani ngapain disini?” tanya seorang bocah dihadap ku sambil membetulkan sarung, Didi namanya.

 Bocah super energi ini tak pernah bisa diam kalau di kelas.  Selalu berteriak memaki temannya yang tidak memperhatikan pelajaran dikelas, kuat mondar-mandir membantu ku membawa buku ke taman baca, kuat mengayuh sepeda mengantar ibunya berjualan ke pasar setiap pagi, dan tak ketinggalan kuat pula ambisi dan pendiriannya. Namun kadang Didi sering digoda teman-temannya dengan julukan “kaleng rombeng” karna suaranya yang cempreng menusuk kuping. Mungkin ia sering lupa membawa remote untuk mengecilkan volume suaranya.

 “Oh ibu sedang mengobrol bareng Anjani.” jawab ku.
“Kita juga mau ikut nimbrung bu.” Anto mulai bersuara. Anto duduk di bale di ikuti semua temannya. “Ibu lagi ngomongin apa sih?” lanjut Anto.
“Ih Anto kamu kepengen tau saja. Ini urusan aku dengan Bu Ratna.” ujar Anjani dengan wajah cemberut.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah Anto dan Anjani. “Kenapa kalian tidak segera ke pondok? Nanti Ustad Rahmat mencari loh.” usul ku pada mereka.
“Ah ibu ini baru pukul lima sore bu, belum Magrib. Kami juga pengen ikut cerita sama ibu benarkan Anto, Didi?” celoteh Fitri sambil mengerlingkan mata beningnya. Bibirnya melengkung mengukirkan senyum khasnya. Melihat Fitri aku gemas sekali.
“Oke-oke sekarang kita mau cerita apa? tanya ku pada mereka.“Cerita tentang cita-cita saja bu.” ucap semangat Anto.
Ayo cita-cita kalian apa?” Meraka sangat antusias jika berbicara tentang cita-cita. Seakan mereka menemukan mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang akan merangkai masaa depan mereka untuk dua puluh atau tiga puluh tahun nanti.
“Aku dulu yah bu aku dulu.” suara Didi yang tinggi melengking menimbulkan bunyi nging- nging ditelinga.
“Didi kamu berisik sekali sih.” omel Fitri yang tepat disamping Didi. Didi tidak menghiraukan omelan Fitri, Ia sangat semangat bercerita cita-citanya.
“Cita-cita aku ingin jadi tentara memakai seragam loreng-loreng, berdiri dengan gagah berani membawa senjata dan siap menembak siapa saja yang mengganggu Indonesia. Tapi aku juga ingin jadi supir pesawat bu.” cerita Didi
“Supir pesawat? Maksud kamu pilot Di?” Mungkin dia lupa istilah pilot sebagai pengemudi pesawat. Semoga saja Didi tidak lupa istilah masinis dan nakodah.
“Iya bu jadi pilot. Nanti kan aku bisa jalan-jalan ke Jakarta dan keluar negeri bu. Aku bakal mengajak bapake, ibuke, bude ku, dan bu Ratna juga jalan-jalan keliling dunia.” ujar Didi serius.
“Aku ga diajak Di?” tanya Fitri.
“Aku engga mau ajak kamu ah, kamu suka marah marah sih habisnya. Nanti kamu bakal ganggu konterasi aku kemudikan pesawat.”
“Ih Didi konsentrasi tau, bukan konterasi.” Omel Fitri. “Habisanya kamu sering berisik sih ditelinga aku. Makanya kalau ngomong pelan-pelan Didi.” lanjut Fitri.

“Bu.. bu.. aku juga mau keluar negeri bu, aku ingin jadi pengusaha batik disana supaya batik Mbok ku terkenal. Siapa tau nanti artis kesukaan aku Justin Bieber akan pakai baju batik buatan Mbok ku. Waduh keren kan, pasti Indonesia bakal terkenal ga kalah sama Amerika.” cerita Fitri dengan menggebu-gebu.
Aku tersenyum menahan geli mendengar cerita Fitri, khayalannya begitu tinggi. Namun tidak ada yang tidak mungkin bukan. Kalau Batik sudah terkenal dan termasyur bukan hanya seorang Justin Bieber yang akan mengenakanya. Actor favorit ku Leonardo Dicaprio pasti akan memakainya, apalagi kalau batik yang dipakai itu produksi murid ku.

Fitri, gadis kecil anak seorang pembatik tulis di desa ini. Ibu nya sangat telaten menorehkan canting ke dalam selembar kain, sehingga menghasilkan batik yang indah. Julukan sang Pemimpi sangat tepat untuknya, Ia memiliki imajinasi yang luar biasa jika disuruh bercerita dan menggambar. Hobinya adalah membaca, ia tak pernah absen ke taman baca yang didirikan oleh ku dan rekan relawan lainnya. Bahkan jika ada buku baru ialah peminjam pertama. Tidak heran, kenapa Fitri punya segudang ide untuk menggambar. Aku akan berusaha untuk menjadi bagian dalam mungujudkan mimpinya.

 “Kamu itu mimpi, mana mau Justin Bieber pakai batik. Batik itu kan kuno lihat deh gayanya Justin Bieber kan hiphop gitu” ledek Anto.
“Anto tidak boleh begitu, kamu kan anak Indonesia. Anak Indonesia harus cinta Indonesia. Cinta produk dalam negerinya, cinta budayanya, dan cinta keindahan alamnya. Kalau sudah cinta pasti bakal menjaganya kan? Batik itu warisan kesenian nenek moyang Indonesia, kita harus tetap menjaga dan mempopulerkan batik sampai ke mata dunia. Kata siapa batik itu kuno? Kamu lihat deh para perancang busana terkenal saja sekarang banyak yang menggunakan motif batik. Kita semua harus jaga kekayaan budaya Indonesia termasuk Batik supaya engga dicolong sama bangsa lain.” ujar ku pada mereka.
“Iya bu. Aku juga punya cita-cita bu. Aku ingin jadi juragan gabah bu seperti Mbah Karyo. Rumahnya bagus, banyak mobil, tanahnya dimana-mana. Pokoknya enak, jadi bapake engga harus capai- capai cangkul sawah lagi. Tinggal duduk manis menunggu kiriman gabah saja dirumah.” Kini mulai Anto yang bercerita. Ia terinspirasi dengan tengkulak di desa ini.

Anto anak seorang petani desa, bocah pencinta warna hijau muda yang memiliki daya tangkap dan daya ingat yang sangat bagus. Setiap kali aku mengajar pelajaran IPA, pasti selalu mendengar suaranya yang berteriak-terika meski serak menjawab pertanyaan dari ku. Begitupun setiap minggu sore saat kami mengadakan les, ia lompat menjawab pertanyaan dengan tangan mengacung.

“Anto jangan hanya jadi juragan saja, tapi harus menjadi ahli teknologi pertanian juga dan mempunyai perusahaan beras yang besar. Supaya stok beras kita terpenuhi dan engga import lagi dari luar negeri. Sehingga para petani kita akan sejahtera.” jelas ku pada Anto
“Import itu apa bu?” tanya Anjani yang sedari tadi diam serius mendengar cerita teman-temannya.
“Import itu mendatangkan barang dari luar negeri sayang, jadi kita yang membeli beras dari luar negeri. “
“Terus bu kalau kita import beras dari luar negeri, beras hasil petani kita bagaimana bu?” Anto kembali bertanya ia mulai tanggap dengan apa yang aku bicarakan.
“Kita mengimport beras karna beras yang kita miliki tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional. Akhirnya untuk mencukupi pangan terpaksa membeli beras dari luar negeri. Nah makanya kasihan para petani kita yang penghasilannya turun. Kalian-kalian harus belajar yang pintar agar nanti bisa melakukan penelitian untuk produksi pertanian kita.” Ujar ku menjelaskan. Wajah-wajah sumringah mereka membuat ku bahagia.

“Kalau cita-cita Anjani ingin jadi apa?” tanya ku pada gadis kecil disampingku.
“Aku ingin jadi dokter bu, mengobati orang-orang yang sakit didesa ini. Kasihan kan kalo ada yang sakit orang-orang harus ke kebupaten dulu buat ke puskesmas. Nanti kalau Anjani jadi dokter, Anjani akan buat rumah sakit yang besar disini. Biar orang-orang desa sehat dan engga ada yang sakit lagi.” Celoteh Anjani.

Memang di desa ini fasilitas kesehatan sangat minim tidak ada klinik, hanya ada puskesmas. Untuk kesananya pun menempuh jarak yang cukup jauh kira-kira sepuluh kilometer dari desa. Apalagi ditambah dengan sarana transportasi yang kurang memadai. Sehingga mereka hanya mengandalkan seorang mantri kampung, dan jika ada yang melahirkan tidak ada bidan  melaikan hanya dukun beranak.

“Wah cita-cita kamu mulia sekali Anjani.”  Anjani membalas dengan senyum manisnya. Ini hanya secuil harapan anak-anak desa. Masih banyak harapan emas anak-anak bangsa disetiap sudut Indonesia ini.


Suara adzan Magrib berkumandang merdu dari Masjid diseberang bale yang kami duduki. Matahari sudah terbenam langit sudah gelap, bulan mulai muncul dibalik awan. “Ayo sudah Magrib cepat pergi ke pondok sudah ditunggu Ustad Rahmat.” ajak ku pada mereka. Anto dan Didi pun bergegas membetulkan sarung juga peci yang mereka kenakannya. Mereka berempat bersiap untuk segera pergi ke pondok. Satu persatu mereka menyalami ku memohon izin dan restu untuk menuntut ilmu. Disudut ini aku menemukan kekuatan bangsa, jati diri bangsa yang tersimpan dalam diri malaikat – malaikat kecil ku ini. Semoga tidak hanya sebuah impian manis, aku berjanji semampu ku mewujudkan harapan mereka.

                                                                        End



*maaf kalau cerpennya banyak kekurangan dalam pemilihan kata, tanda baja, dan EYD. Masih belajar dan akan terus belajar :)


0 komentar:

Posting Komentar

 

Olive's Blog Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review